Kisah Nabi Ibrahim yang Menikah dengan Pembantunya
Keunikan sering dijumpai dalam kisah cinta. Bahkan, keunikan itu menjadi pelajaran khusus bagi orang yang hidup setelah pelakunya. Mereka tidak harus mengulangi sejarah cinta kelabu jika ketajaman bashirah menjangkau kesalahan-kesalahan langkah pendahulunya. Namun, ada juga yang lemah analisisnya hingga ia harus mengulangi sejarah masa lalu dengan biaya mahal. Itulah potret manusia merugi.
Sekarang, pembaca dihadapkan pada kenyataan perjuangan cinta Ibrahim, Khalilullah. Seorang anak manusia yang beristrikan seorang wanita yang mempu memberikan keturunan pada mulanya. Kemudian, sang istri mempersilakan suaminya untuk menikahi pambantunya yang subur. Inilah kisah Ibrahim, Sarah, dan Hajar. Kisah cinta tiga anak manusia dengan perjuangan yang melekat sepanjang hayat mereka. Namun, pelajarannya tidak akan pernah terhapus oleh kekejaman zaman sekalipun.
Ketika itu, musim paceklik kian mencengkeram Syam. Sembako langka di pasaran. Kalau pun ada, stoknya amat sedikit dengan harga melambung. Para penduduk kelaparan tidak terperikan. Mata pencaharian sulit didapatkan. Kemiskinan sudah tidak layak lagi dijadikan tema pembahasan. Masyarakat kian menderita dari hari ke hari. Oleh karena itu, mereka yang sadar segera mencari tempat bermukim baru yang lebih menjanjikan.
Migrasi menjadi alternatif yang mereka tempuh. Bagi yang punya keluarga jauh, tentu punya kejelasan tempat yang dituju. Mereka tinggal mengontak mereka, menceritakan kondisi yang dialaminya, lalu meminta bantuannya untuk dicarikan tempat dan pekerjaan di daerahnya. Urusan selesai. Sementara mereka yang saudaranya hidup berdampingan atau malah tidak punya sanak harus pergi mengikuti bisikan ibu jari kaki. Mereka dipaksa waktu untuk pergi mencari penghidupan dan tempat tinggal yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Ibrahim, termasuk kelompok kedua.
Ibrahim terpaksa berhijrah bersama istri tercintanya, Sarah. Mereka menuju Mesir. Sebuah negeri yang subur makmur. Sayangnya, penguasanya kala itu amat bengis dan kejam. Kehendaknya tidak boleh ada yang menghalangi. Jika itu tidak terpenuhi, penjara menjerat atau cambuk dan golok para algojo melesat. Dan satu lagi, raja itu amat gemar bermain perempuan. Jika ia mendengar, apalagi melihat perempuan cantik, dengan suka atau paksa ia akan mengawini perempuan itu. Jika telah bersuami, suaminya akan dibunuh.
Sarah, adalah wanita muda yang jelita. Parasnya yang menarik, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi dirinya dan Ibrahim. Keduanya khawatir jika kedatangannya ke negeri sang raja akan membahayakan keselamatan dan kehormatan sekaligus nyawanya. Namun, karena tidak ada alternatif tempat, mereka akhirnya mengatur strategi untuk keselamatan bersama.
Sebagaimana tradisi suatu kerajaan, ia akan menyebar mata-mata di setiap pelosok negerinya. Setiap warga asing yang masuk, pasti akan sampai laporannya kepada jajaran penguasa. Ketika Ibrahim dan Sarah memasuki Mesir pun, segera kabar kedatangan mereka tercium oleh pihak kerajaan. Raja memanggil Ibrahim dan Sarah.
Keduanya memenuhi panggilan penguasa dengan hati galau. Pengawal mengantarnya hingga mereka tiba di tempat raja. Ketika itu sang raja menatap tamunya. Demi melihat Sarah yang cantik jelita, Raja langsung jatuh hati. Ketika ditanyakan kepada Ibrahim, siapakah Sarah? Ibrahim menjawab bahwa ia saudaranya. Hal itu ia tempuh untuk menghindari kebiasaan raja membunuh suami dari istri yang dikehendaki olehnya. Raja pun menyuruh agar Sarah dibawa ke Haremnya, sedangkan Ibrahim diizinkan pulang sendirian.
Begitulah Ibrahim harus yang dipisahkan dengan istri yang dicintainya. Namun, ia memahami karakter istrinya yang kukuh kuat memegang prinsip. Ia tidak mudah goyah menghadapi cobaan-cobaan hidup. Ibrahim berusaha menenangkan hati sambil terus memohon kepada Allah untuk keselamatan istrinya.
Sekali-kali Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya yang beriman. Allah, tidak ada batas Dzat-Nya dengan al- mazhlum. Tidak lama berselang, Sarah dikembalikan kepada Ibrahim dalam keadaan suci, terhormat, tidak tersentuh tangan jahil sedikit pun. Menurut riwayat, raja pernah bermimpi bahwa Sarah telah bersuami dan jika diri dan kerajaannya ingin sejahtera, ia harus segera mengembalikan Sarah kepada suaminya.
Kedua insan itu bersyukur kepada Allah karena telah lulus dari ujian. Bahkan, mereka kini mendapat nikmat dengan hadiah dayang dari sang raja bernama Hajar. Hajar berkhidmat kepada suami istri ini. Ia mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan dengan tangkas. Budi pekertinya amat mulia.
Beberapa lama Ibrahim dan Sarah bermukim di Mesir. Keduanya sungguh berharap segera beroleh keturunan, buah pernikahan mereka. Namun, karunia itu tidak kunjung datang. Minggu berganti, bulan baru selalu dating, dan tahun pun telah bertukar, berbagai ikhtiar telah dilakukan. Akhirnya, Sarah menyerah. Dengan kesadaran dan kebijakan pribadinya, dipersilakannya Ibrahim menikahi dayangnya yang selama ini membantu aktivitas mereka. Dengan izin Allah pernikahan Ibrahim untuk kedua kalinya berlangsung.
Hajar hamil. Ibrahim bersyukur karena tujuan menikahi Hajar sudah hampir tercapai. Dengan izin-Nya, Hajar mulai merasakan bayinya akan segera lahir. Akhirnya, pernikahan itu membuahkan hasil generasi shalih yang diberi nama Ismail, calon nabi penerus Ibrahim.
Allah punya rencana lain yang jauh dari pandangan mata lahir manusia. Allah memerintahkan Ibrahim agar membawa Hajar dan Ismail mungil ke suatu lembah tandus yang tidak berpenghuni.
Dengan berat hati, Ibrahim dan Hajar berangkat menuju lembah sunyi, Mekah. Di tempat itu tidak ada orang yang dapat dimintai bantuan atau hewan yang dapat diburu. Tumbuh-tumbuhan subur yang dapat dinikmati buah dan daunnya pun tidak ada sama sekali. Semua gersang. Di lembah seperti itulah Ibrahim meninggalkan kekasih hati, juga buah hatinya. Meski Hajar memberontak dan menolak ditinggal, Ibrahim meninggalkannya dengan linangan air mata. Ibrahim memahami betapa beratnya ditinggal seorang diri menghadapi ganasnya alam. Jika saja tidak karena perintah Allah, tentu Ibrahim tidak akan melakukannya. Ya, itulah pengorbanan cinta. Ibrahim mencintainya karena Allah dan Allah ingin mengetahui seberapa besar dan tulus cinta dirinya kepada Hajar dan kepada-Nya.
Perbekalan yang ditinggalkan untuk Hajar dan si kecil Ismail tidak banyak. Hajar sangat berhemat dengannya. Jika tidak, sehari pasti sudah habis dikonsumsinya. Akhirnya, persediaan air dan makanan habis. Hajar bingung. Kekhawatiran makin menghantuinya. Kegalauan hati sudah tidak dapat diukur lagi. Ia pasrah.
Ismail kecil mulai kehausan. Air susu Hajar tidak mau lagi keluar. Kering. Akhirnya, Ismail menangis sejadi-jadinya. Hajar berlari kian kemari mencari orang barangkali ada yang dapat dimintai tolong atau ada sumber mata air untuk sekadar pelepas dahaga bayinya. Sambil berlari hatinya terpaut kepada Ismail kecil yang ditinggalkannya sendirian. Ia khawatir jika sesuatu menimpa buah hatinya. Harapan dan doa dipanjatkannya sepanjang perjalanan lari bolak-balik antara Bukit Shafa dan Marwa. Tujuh putaran sudah ia lalui, tetapi mata air tidak kunjung ditemukan. Dalam keadaan letih, ia balik ke Ismail. Ia terduduk di sampingnya.
Matanya tiba-tiba terbelalak ketika tanah bekas jejakan kaki Ismail memancarkan air. Ajaib. Air itu menyebar ke sekelilingnya. Dengan penuh harap, Hajar mengumpulkan air itu. “Zam, zam,” katanya. Kumpul, kumpul. Air itu dihimpun oleh Hajar hingga mencukupi kebutuhannya berdua.
Demikian pengorbanan Hajar. Orang-orang sekarang dapat menikmati sumber air buah dari perjuangan itu. Orang menyebutnya sumur ZAMZAM, diambil dari ucapan spontan Hajar yang berarti kumpul.
Setelah itu, Allah berkehendak melipatkan karunia-Nya kepada Ibrahim. Dari Sarah, istrinya yang belum mampu memberikan keturunan, kini melahirkan generasi shalih pula yang kelak menjadi nabi seperti halnya Ismail, Ishaq namanya.
Usia ayah dan kedua anaknya cukup panjang untuk ukuran sekarang. Menurut sebuah keterangan, Ibrahim wafat pada usia 175 tahun, Nabi Ismail pada usia 137 tahun, dan Ishaq pada usia 180 tahun.
*Sumber artikel ini adalah dari buku Kisah Cinta Manusia Pilihan: Para Nabi, Sahabat, Tabi’in, dan Orang-Orang Shalih Zaman Ini karya Irfan Supandi.